Kamis, 29 Oktober 2015

Form Data Statistik Kehutanan



Dalam rangka memenuhi kebutuhan data dan informasi khususnya data dan informasi kelembagaan  dan ketenagaan penyuluhan kehutanan, maka dalam waktu dekat Sekretariat Bakorluh PPK Provinsi Lampung akan melaksanakan pertemuan Penyusunan Data  Statistik Kehutanan Provinsi Lampung tahun 2015, adapun waktu pelaksanaan akan ditentukan kemudian. Terkait hal tersebut diminta kepada Saudara untuk mengisi form sebagaimana terlampir.
Data dimaksud disampaikan ke Sekretariat Bakorluh PPK Provinsi Lampung Cq. Subbag. Perencanaan selambatnya tanggal 9 November 2015 dan soft copy dapat dikirim melalui e-mail bakorluhren@yahoo.co.id. Informasi  lebih lanjut dapat menghubungi Sdr. Bambang Pambudi, S.P. (085269403130).
Demikian disampaikan, atas perhatian dan kerjasamanya diucapkan terima kasih.



Form Data Statistik Kehutanan dapat didownload disini
  •  Form dengan ukuran kertas Folio / F4
  • Orientasi landscape dengan margin atas: 1 cm; bawah: 1 cm; kiri: 1,5 cm dan kanan: 1 cm



Rabu, 19 Agustus 2015

Laporan Harta Kekayaan Penyelenggaraan Negara (LHKPN) dan Laporan Harta Kekayaan Aparatur Sipil Negara (LHKASN)


Mulai tahun 2015 pemerintah telah mewajibkan Aparatur Sipil Negara (ASN) untuk melakukan pengisian Laporan Harta Kekayaan Aparatur Sipil Negara (LHKASN). Kebijakan ini diambil sebagai langkah pencegahan dini terhadap terjadinya tindak pidana korupsi, kolusi dan nepotisme; pencegahan penyalahgunaan wewenang; bentuk transparansi ASN; dan penguatan integritas aparatur.

Kebijakan LHKASN tertuang dalam Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 1 Tahun 2015 tentang Kewajiban Penyampaian Laporan Harta Kekayaan Aparatur Sipil Negara (LHKASN). 5 (lima) muatan pokok dari surat edaran tersebut adalah sebagai berikut.
  • Menetapkan pejabat wajib lapor LHKPN.
  • Menetapkan wajib lapor bagi seluruh pegawai ASN yang tidak wajib LHKPN untuk menyampaikan LHKASN dengan menggunakan formulir LHKASN yang telah ditetapkan dalam surat edaran ini.
  • Menugaskan APIP untuk mengelola LHKASN.
  • Peninjauan kembali jabatan dan sanksi jika tidak memenuhi ketentuan ini.
  • Sanksi bagi pegawai di Lingkungan APIP yang menyalahi kewenangan.
Pemerintah Provinsi Lampung sendiri mendukung sepenuhnya kebijakan ini dengan mengeluarkan Surat Edaran Gubernur Lampung Nomor: 700/796/II.01/2015 Tentang Laporan Harta Kekayaan Penyelenggaraan Negara (LHKPN) Dan Laporan Harta Kekayaan Aparatur Sipil Negara (LHKASN). Dalam Surat Edaran tersebut disampaikan bahwa dalam rangka pembangunan integritas Aparatur Sipil Negara dan upaya pencegahan serta pemberantasan korupsi melalui penyampaian Laporan Harta Kekayaan Penyelenggaraan Negara (LHKPN) sebagaimana diwajibkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) serta Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 1 tahun 2015 tentang Kewajiban Penyampaian Laporan Harta Kekayaan Aparatur Sipil Negara (LHKASN) di Lingkungan Instansi Pemerintah.

Selain itu juga disampaikan bahwa:
  1. Bagi pejabat yang memangku jabatan, para pengelola anggaran, panitia pengadaan barang dan jasa untuk menyampaikan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggaraan Negara (LHKPN) kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
  2. Kepada seluruh Aparatur Sipil Negara untuk menyampaikan LHKASN kepada Pimpinan Instansi pemerintah masing-masing dengan ketentuan yang ada.
  3. Inspektorat Provinsi Lampung selaku Aparatur Pengawas Internal Pemerintah (APIP) agar melakukan:
    • Monitoring kepatuhan Aparatur Sipil Negara dalam penyampaian LHKASN kepada Pimpinan SKPD masing-masing.
    • Melakukan verifikasi atas kewajaran LHKASN yang disampaikan oleh Aparatur Sipil Negara.

 Berikut dilampirkan link-link yang berhubungan dengan penyusunan LHKPN dan LHKASN:



(admin)

Selasa, 30 Juni 2015

PENGAIRAN DAN PEMBERANTASAN HAMA PENYAKIT PADA BUDIDAYA PADI SRI


PENGAIRAN

Bakorluh – Sudah kami ulas pada halaman sebelumnya bahwa pemberian air pada sistem budidaya padi SRI dilakukan secara internitten atau terputus-putus. Saat tanam, kondisi tanah adalah macak-macak (5 mm). Kemudian tinggi air ditambah sampai 2 cm atau maksimal. Setelah itu, pintu inlet ditutup dan lahan dibiarkan mengering. Setelah kondisi tanah mulai retak, pintu air dibuka kembali dan diatur sampai ketinggian 2 cm. Demikian seterusnya diulang sampai masa pemasakan bulir. Lamanya pengeringan tergantung pada musim dan kondisi setempat.
Sebagai pengalaman di Nusa Tenggara Timur dengan kondisi iklim yang ekstrim (3 bulan basah dan 6 bulan kering), lamanya waktu antara penghentian pemberian air irigasi sampai kondisi tanah retak adalah sekitar 1 minggu. Di daerah lain yang memiliki kondisi iklim lebih basah dan temperatur lebih rendah, proses pengeringan dapat mencapai 2 minggu.
Walaupun dengan kondisi ini akan tampak pertumbuhan tanaman terhambat, tetapi sebenarnya tanaman sedang melakukan perbanyakan anakan. Dengan kondisi retak, suplai oksigen pada daerah perakaran akan lebih besar dan menyebabkan proses asimilasi yang lebih besar dibanding pada sistem pengairan biasa. Hal ini memicu penyerapan unsur hara yang lebih baik dan pertumbuhan anakan yang jauh lebih besar (mencapai 200%).
Perlu diperhatikan pula proses pengeringan ini bersifat fleksibel. Saat pemupukan, kondisi air sebaiknya pada ketinggian maksimal (2 cm) akan tetapi pintu air sudah dalam keadaan ditutup. Dalam keadaan air tidak mengalir, pemupukan akan lebih efektif karena tidak terbawa air yang mengalir dan pupuk akan langsung meresap pada tanah.


PEMBERANTASAN HAMA DAN PENYAKIT

Pemberantasan hama dan penyakit dilakukan dengan mengikuti kaidah PHPT (Pengendalian Hama dan Penyakit secara Terpadu). Prinsip ini sangat mengutamakan cara mekanis dan biologis. Penggunaan pestisida hanya dilakukan saat serangan mencapai nilai ambang batas atau dalam kondisi endemik sebagai langkah preventif.
Cara-cara pengendalian mekanis untuk hama dilakukan dengan membuat perangkap hama (untuk walangsangit atau keong mas, atau yang lainnya), sedangkan untuk serangan penyakit bisa dilakukan dengan mencabut dan membakar tanaman yang terinfeksi. Beternak bebek/itik di lahan sawah yang sudah mulai besar juga dapat mengendalikan populasi wereng dan hama lainnya. Penggunaan pestisida nabati juga sangat dianjurkan sebagai langkah preventif, pengendalian, dan pelestarian lingkungan hidup.




Sebagai informasi sejak diperkenalkan tahun 1997 di Indonesia, metode SRI tidak berkembang seperti yang diharapkan oleh perintisnya Prof. Dr Norman Uphoff.  Walaupun banyak hasil yang memuaskan, metode SRI berkembang secara lambat. Dalam beberapa aplikasi di lapangan, metode SRI mampu mendongkrak produktivitas beberapa varietas yang biasa ditanam petani secara fantastis.
Rata-rata produksi 6 ton/ha, SRI mampu memberikan hasil sekitar 9 - 12 ton/ha, suatu hasil yang patut diperhitungkan dan selayaknya mendapat tempat istimewa dalam program ketahanan pangan. Hasil luar biasa ini pula lah yang merangsang PT. Sampurna berani membuka usaha agrobisnis komoditas padi yang selama ini dianggap enteng oleh kalangan pengusaha besar. Belum lagi Nippon Koei Co.Ltd yang secara konsisten melakukan sosialisasi aplikasi SRI pada setiap daerah pengembangan irigasi yang ditanganinya dan bahkan mendanai SRI Center di Mataram.
Selain keunggulan produksi, SRI juga memiliki banyak keunggulan yang diantaranya adalah :
  1. Penggunaan air irigasi yang lebih hemat, sehingga memungkinkan perluasan areal tanam padi lahan beririgasi saat musim kemarau.
  2. Pengunaan varietas unggul lokal yang telah biasa ditanam petani setempat.
  3. Penggunaan benih yang jauh lebih sedikit (10 - 15 kg/ha dibanding metoda konvensional sebesar 30 - 60 kg/ha).
  4. Mengurangi waktu produksi karena bibit ditanam pada umur 5 - 12 hari setelah semai (konvensional 21 hss).
  5. Secara umum, mengurangi ongkos produksi dan menambah tingkat keuntungan usahatani.
  6. Jarak tanam yang lebar (30 x 30 cm) mempermudah kegiatan pemeliharaan.
  7. Pada metoda SRI organik, selain sangat mengurangi kebutuhan pupuk kimia dan tanaman padi relatif lebih tahan terhadap hama dan penyakit, kualitas produk beras menjadi lebih baik.
Walaupun dengan sistem pengairan biasa, pelaksanaan budidaya padi sistem jajar legowo agak mirip dengan metode SRI. Penanaman bibit 1 - 2 perlubang dan dengan jarak tanam yang diatur perblok, metode jajar legowo mampu meningkatkan poduktivitas pada varietas lokal sebesar hampir 40% (dari 6,5 ton/ha menjadi 8,5 ton/ha). Introduksi budidaya organik pada sistem jajar legowo secara signifikan juga meningkatkan produktifitas dan kualitas hasil.
Melihat ketiga fenomena di atas, terdapat perbedaan yang cukup mencolok antara pengembangan SRI dan Jajar Legowo dengan padi hibrida. Perkembangan SRI dan Jajar Legowo berjalan dengan lambat, sedangkan perkembangan padi hibrida walaupun masih menimbulkan masalah, berkembang cukup pesat. Secara teknis, pengembangan SRI dan Jajar Legowo ditangani dalam program-program pemerintah (seperti  SRI - Disimp yang ditangani Nippon Koei melalui dana Loan JBIC dan Jajar Legowo pada P4MI/PFI3P yang didanai Loan ADB), sedangkan padi hibrida ditangani langsung oleh lembaga usaha (PT. Dupont, PT. SAS,  Syngenta, dll.). Oleh karena itu, walaupun relatif lebih baru, gaung pengembangan padi hibrida lebih kencang karena berpotensi memberikan keuntungan yang sangat besar bagi pengusaha benih hibrida. Keuntungan finansial juga dirasakan Balai Benih Padi dengan perolehan royalty dan bantuan langsung dalam bentuk pendanaan kerjasama pengembangan benih hibrida yang tidak didapatkan dari pengembagan SRI atau jajar Legowo.
Akan tetapi, apabila kita lihat dari keunggulan-keunggulan yang diperoleh secara general dari ketiga sistem tersebut, tentunya kita sangat berharap bahwa sistem yang lebih berpihak pada program ketahanan pangan sekaligus kesejahteraan petani lah yang mestinya lebih diutamakan pengembangannya. Barangkali, seperti biasanya, korupsi, kolusi, dan nepotisme sering mengaburkan bahkan menutupi makna sesungguhnya dari suatu sistem pembangunan di negeri ini. Kita hanya bisa berharap bahwa yang akan unggul adalah yang berpihak pada kepentingan masyarakat dan bangsa ini, bukan yang berpihak pada pengusaha dan para pengumpul harta.




  Oleh : Catur Agus Dewanto, SP
(Kabid Penyelenggaraan Penyuluhan, Set. BAKORLUH PPK Prov. Lampung)


















Senin, 22 Juni 2015

TINGKATKAN PRODUKSI BERAS DENGAN BUDIDAYA PADI SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION (S.R.I.)



Catur Agus Dewanto, SP.

       Bakorluh - Sistem budidaya pertanian di Indonesia dalam kurun waktu yang panjang telah mengalami penurunan  produktivitas, kualitas, dan efisiensi. Penurunan terjadi mulai dari luas lahan garapan yang kian susut akibat terdesak kegiatan industrialisasi dan perumahan. Produktivitas semakin menukik tajam karena lahan kehilangan kesuburan akibat penggunaan pupuk kimia yang tidak bijaksana.
Pemakaian pestisida dan pupuk kimia yang berlebihan dan tidak terkontrol mengakibatkan banyak masalah. Diantaranya keseimbangan alam terganggu, musuh alami hama menjadi punah, sehingga hama dan penyakit tanaman berkembang pesat, dan adanya residu kimia pada hasil panen. Penghematan penggunaan pupuk dan pestisida kimia mutlak harus dilakukan.
Selain itu, krisis lingkungan karena pencemaran perlu disikapi mengingat dampak negatif yang tidak sedikit bagi manusia dan lingkungan. Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah harga pupuk dan anti hama yang mahal, terkadang langka di pasaran serta faktor kolutif lain. Diantaranya mekanisme pasar yang cenderung memperkaya segelintir orang dan faktor politis yang tidak memihak petani.
Dari aspek pengelolaan air, usaha tani sawah pada umumnya dilakukan dengan penggenangan secara terus-menerus, di lain pihak kesediaan air semakin terbatas. Untuk itu, diperlukan peningkatan efisiensi penggunaan air melalui usaha tani hemat air.
Pemerintah Indonesia melalui Departemen Pertanian melakukan berbagai cara untuk memenuhi kebutuhan beras dalam negeri. Salah satu teknologi yang sangat potensial untuk meningkatkan produksi beras nasional adalah Budidaya Padi System of Rice Intensification (S.R.I). Budidaya Padi S.R.I. telah diadopsi oleh banyak petani di 28 negara (Uphoff, 2004).
Budidaya padi yang berasal dari Madagascar ini diperkenalkan pertama kali di Indonesia oleh Prof. Dr Norman Uphoff dari Cornell University, Amerika Serikat tahun 1997. Namun perkembangan Budidaya Padi S.R.I. di Indonesia terasa lambat.
Keuntungan lain dari penerapan Budidaya Padi S.R.I adalah mengurangi emisi CH4 karena sawah tidak digenangi. Hal ini merupakan keuntungan lain dari penerapan Budidaya Padi S.R.I. secara luas. Pemerintah Indonesia sudah menyatakan komitmennya untuk berpertisipasi aktif mengurangi emisi gas rumah kaca. Melalui penerapan Budidaya Padi S.R.I. secara luas, emisi metan dari sawah juga akan berkurang secara nyata sehingga secara nasional, Pemerintah Indonesia dapat menunjukkan berpartisipasi aktif dalam menurunkan emisi CH4.
Pada tahun pertama program difusi Budidaya Padi S.R.I, yang akan dilakukan: (1). Memperkenalkan Budidaya Padi S.R.I. kepada petani melalui pembuatan petak percontohan (demonstration plot) di 5 lokasi di Kabupaten Bogor, Sukabumi dan Cianjur; (2) Melibatkan Ketua kelompok Tani dan petani maju secara langsung dalam kegiatan demonstration plot; (3) Memberikan pelatihan langsung kepada petani terpilih (15 petani/ketua kelompok tani); (4) Program bimbingan/pendampingan kepada petani yang sudah mengikuti pelatihan dalam pelaksanaan Budidaya Padi S.R.I. mulai dari penyiapan lahan, penyiapan benih sampai kepada Pasca Panen dan pemasaran hasil; (5) Melakukan supervisi kepada petani peserta secara berkala; (6) Mengadakan diskusi diantara petani pelaksana Budidaya Padi S.R.I. dengan melibatkan masyarakat umum.
Metode SRI menguntungkan untuk petani, karena produksi meningkat sampai 10 ton/ha, selain itu karena tidak mempergunakan pupuk dan pestisida kimia, tanah menjadi gembur, mikroorganisme tanah meningkat jadi ramah lingkungan. Untuk mempercepat penyebaran metode SRI perlu dukungan dengan kebijakan pemerintah pusat maupun daerah.



PRINSIP BUDIDAYA SRI


SRI atau System of Rice Intensification tertumpu pada 4 hal pokok yaitu :

1.             Menanam bibit muda (5 – 15 hari setelah semai)
2.             Menanam 1 bibit pertitik tanam
3.          Mengatur jarak tanam lebih lebar (30 x 30 cm sampai 50 x 50 cm ; di Indonesia jarak tanam ideal untuk SRI adalah 35 x 35 cm atau 35 x 35 cm)
4.        Manajemen pengairan yang super hemat dengan cara intermitten (terputus ; berselang seling antara pemberian air maksimal 2 cm dan pengeringan tanah sampai retak).

Selain keempat hal tersebut, sangat dianjurkan untuk menggunakan pupuk organik. Pupuk organik selain menyediakan unsur hara yang lengkap (makro dan mikro) juga memperbaiki struktur tanah sehingga meningkatkan ketersediaan hara bagi tanaman, udara yang cukup bagi perakaran, dan meningkatkan daya ikat air tanah.
Di bawah ini adalah prinsip budidaya yang telah diterapkan oleh Proyek Disimp selama lebih dari 5 tahun di berbagai lokasi pengembangan daerah irigasi.
1.      Pengolahan Tanah
Pengolahan tanah dilakukan sesuai anjuran pada sistem konvensional. Sangat dianjurkan untuk memberikan pupuk kandang / kompos / pupuk hijau saat pembajakan tanah. Di sekeliling petakan dibuat parit sedalam 30 – 50cm untuk membantu saat periode pengeringan.
2.      Pembibitan
Pembibitan dalam SRI sangat dianjurkan dilakukan dalam kontainer plastik, kayu, anyaman bambu yang dilapisi daun pisang, atau apa saja yang dapat digunakan. Hal ini untuk mempermudah saat pindah tanam. Media tanah untuk pembibitan sebaiknya mengandung kompos atau pupuk organik yang baik dengan ketebalan 4-5 cm. Benih diberi perlakuan khusus agar didapatkan benih yang paling baik. Lihat “Perlakuan Benih Padi”
3.      Pindah Tanam
Sebelum pindah tanam sebaiknya lahan telah betul-betul rata dan kemudian dibuat garis tanam dengan menggunakan caplak agar pertanaman teratur dengan jarak tanam seragam. Jarak tanam yang dianjurkan adalah 30 x 30 cm, 35 x 35 cm, atau pada tanah yang subur dapat diperjarang sampai 50 x 50 cm.
Bibit dapat dipindahtanamkan pada umur 5 – 15 hari setelah semai (berdaun 2) dengan jumlah 1 bibit perlubang. Pembenaman bibit sekitar 1 – 1,5 cm dengan posisi akar membentuk huruf L. Caranya adalah dengan membenamkan bibit pada jarak sekitar 10 cm di belakang titik tanam, kemudian digeser menuju titik tanam, sehingga posisi akar seperti huruf L.
4.      Pemupukan.
Pemupukan dilakukan sesuai anjuran setempat, baik dosis maupun teknis pemberian. Hal ini disebabkan karakteristik kesuburan tanah yang berbeda-beda di setiap lokasi. Apabila menggunakan pupuk kandang, dosis pupuk kimia dapat dikurangi (mengenai hal ini sebaiknya berkonsultasi dengan pihak Cabang Dinas Pertanian setempat).
5.      Penyiangan / Pengendalian Gulma.
Pengendalian gulma sebaiknya dilakukan sebanyak sekurangnya 3 kali selama masa tanam sesuai dengan kondisi di lapangan. Pengendalian gulma yang baik sebaiknya menggunakan alat weeder (lalandak) yang lebarnya disesuaikan dengan jarak tanam. Gulma yang tercabut dapat dibenamkan atau disisihkan (dalam hal ini bila dominasi jenis gulma yang berumbi seperti teki).
6.      Pengairan
Pengairan atau pemberian air dilakukan secara intermitten atau terputus-putus. Pada awal penanaman, pemberian air dilakukan sampai kondisi minimal macak-macak atau maksimal sekitar 2 cm. Kemudian dibiarkan mengering sampai kondisi tanah mulai terbelah-belah dan mulai lagi dengan pemberian air maksimal, begitu seterusnya. Kondisi tanah yang kering terbelah memberikan kesempatan oksigen lebih banyak masuk dalam pori-pori tanah sehingga akan memperbaiki proses respirasi (pernapasan) perakaran. Kondisi ini tentu akan meningkatkan pertumbuhan perakaran dan perkembangan anakan.  Seperti juga pada sistem konvensional, pemberian air dihentikan saat periode pemasakan bulir padi.
7.      Pengendalian Hama dan Penyakit.
Dalam metode SRI, pengendalian hama dilakukan dengan sistim PHT. Dengan system ini, petani diajak untuk bisa mengelola unsur-unsur dalam agroekosistem (seperti matahari, tanaman, mikroorganisme, air, oksigen, dan musuh alami) sebagai alat pengendali hama dan penyakit tanaman. Cara yang dilakukan petani misalnya dengan menempatkan bilah-bilah dipetakan sawah sebagai “terminal” capung atau burung kapinis. Selain itu petani juga menggunakan pestisida berupa ramuan yang diolah dari bahan-bahan alami untuk menghalau hama.
Untuk pengendalian gulma, metode SRI mengandalkan tenaga manusia dan sama sekali tidak memakai herbisida. Biasanya digunakan alat bantu yang disebut “susruk”. .Ini adalah semacam garu yang berfungsi sebagai alat pencabut gulma. Dengan alat ini, gulma yang sudah tercabut sekaligus akan dibenamkan ke dalam tanah untuk menambah bahan didalam tanah. Perlu diingat, bahwa dalam aplikasi metode SRI, gulma yang tumbuh akan menjadi banyak karena sawah tidak selalu ada dalam kondisi tergenang air.
8.      Panen
Panen dilakukan setelah tanaman menua dengan ditandai dengan menguningnya semua bulir secara merata. Bila bulir digigit tidak sampai mengeluarkan air. Dari pengalaman di lapangan, dengan pemasakan bulir pada SRI lebih cepat terjadi sehingga umur panen lebih cepat dan bulir padi lebih banyak dan lebih padat.
Demonstrasi area yang dilakukan selama ini membuktikan bahwa SRI mampu memberikan kelebihan hasil panen seperti :
  • Tinggi tanaman lebih tinggi mulai umur tanaman 60 hari
  • Jumlah anakan 2 kali lebih banyak sejak umur 40 hari
  • Jumlah anakan produktif meningkat 2 kali
  • Jumlah bulir permalai lebih banyak
  • Jumlah bulir bernas lebih banyak
  • Berat bulir per 100 butir gabah lebih tinggi
  • Kadar air saat panen lebih rendah
Dengan sejumlah peningkatan tersebut di atas, sudah pasti SRI memberikan nilai produktivitas yang jauh lebih tinggi dibanding dengan metode konvensional.