PENGAIRAN
Bakorluh – Sudah
kami ulas pada halaman sebelumnya bahwa pemberian air pada sistem budidaya padi
SRI dilakukan secara internitten atau terputus-putus. Saat tanam, kondisi tanah
adalah macak-macak (5 mm). Kemudian tinggi air ditambah sampai 2 cm atau
maksimal. Setelah itu, pintu inlet ditutup dan lahan dibiarkan mengering.
Setelah kondisi tanah mulai retak, pintu air dibuka kembali dan diatur sampai
ketinggian 2 cm. Demikian seterusnya diulang sampai masa pemasakan bulir.
Lamanya pengeringan tergantung pada musim dan kondisi setempat.
Sebagai pengalaman
di Nusa Tenggara Timur dengan kondisi iklim yang ekstrim (3 bulan basah dan 6
bulan kering), lamanya waktu antara penghentian pemberian air irigasi sampai
kondisi tanah retak adalah sekitar 1 minggu. Di daerah lain yang memiliki
kondisi iklim lebih basah dan temperatur lebih rendah, proses pengeringan dapat
mencapai 2 minggu.
Walaupun
dengan kondisi ini akan tampak pertumbuhan tanaman terhambat, tetapi sebenarnya
tanaman sedang melakukan perbanyakan anakan. Dengan kondisi retak, suplai
oksigen pada daerah perakaran akan lebih besar dan menyebabkan proses asimilasi
yang lebih besar dibanding pada sistem pengairan biasa. Hal ini memicu
penyerapan unsur hara yang lebih baik dan pertumbuhan anakan yang jauh lebih
besar (mencapai 200%).
Perlu
diperhatikan pula proses pengeringan ini bersifat fleksibel. Saat pemupukan,
kondisi air sebaiknya pada ketinggian maksimal (2 cm) akan tetapi pintu air
sudah dalam keadaan ditutup. Dalam keadaan air tidak mengalir, pemupukan akan
lebih efektif karena tidak terbawa air yang mengalir dan pupuk akan langsung
meresap pada tanah.
PEMBERANTASAN HAMA DAN PENYAKIT
Pemberantasan
hama dan penyakit dilakukan dengan mengikuti kaidah PHPT (Pengendalian Hama dan
Penyakit secara Terpadu). Prinsip ini sangat mengutamakan cara mekanis dan biologis.
Penggunaan pestisida hanya dilakukan saat serangan mencapai nilai ambang batas
atau dalam kondisi endemik sebagai langkah preventif.
Cara-cara
pengendalian mekanis untuk hama dilakukan dengan membuat perangkap hama (untuk walangsangit atau keong mas, atau yang lainnya), sedangkan untuk serangan penyakit
bisa dilakukan dengan mencabut dan membakar tanaman yang terinfeksi. Beternak
bebek/itik di lahan sawah yang sudah mulai besar juga dapat mengendalikan
populasi wereng dan hama lainnya. Penggunaan pestisida nabati juga
sangat dianjurkan sebagai langkah preventif, pengendalian, dan pelestarian
lingkungan hidup.
Sebagai
informasi sejak diperkenalkan tahun 1997 di Indonesia, metode SRI tidak berkembang
seperti yang diharapkan oleh perintisnya Prof. Dr Norman Uphoff. Walaupun
banyak hasil yang memuaskan, metode SRI berkembang secara lambat. Dalam
beberapa aplikasi di lapangan, metode SRI mampu mendongkrak produktivitas
beberapa varietas yang biasa ditanam petani secara fantastis.
Rata-rata
produksi 6 ton/ha, SRI mampu memberikan hasil sekitar 9 - 12 ton/ha, suatu
hasil yang patut diperhitungkan dan selayaknya mendapat tempat istimewa dalam
program ketahanan pangan. Hasil luar biasa ini pula lah yang merangsang PT.
Sampurna berani membuka usaha agrobisnis komoditas padi yang selama ini
dianggap enteng oleh kalangan pengusaha besar. Belum lagi Nippon Koei Co.Ltd
yang secara konsisten melakukan sosialisasi aplikasi SRI pada setiap daerah
pengembangan irigasi yang ditanganinya dan bahkan mendanai SRI Center di
Mataram.
Selain
keunggulan produksi, SRI juga memiliki banyak keunggulan yang diantaranya
adalah :
- Penggunaan air irigasi yang lebih hemat, sehingga
memungkinkan perluasan areal tanam padi lahan beririgasi saat musim
kemarau.
- Pengunaan varietas unggul lokal yang telah biasa
ditanam petani setempat.
- Penggunaan benih yang jauh lebih sedikit (10 - 15
kg/ha dibanding metoda konvensional sebesar 30 - 60 kg/ha).
- Mengurangi waktu produksi karena bibit ditanam
pada umur 5 - 12 hari setelah semai (konvensional 21 hss).
- Secara umum, mengurangi ongkos produksi dan
menambah tingkat keuntungan usahatani.
- Jarak tanam yang lebar (30 x 30 cm) mempermudah
kegiatan pemeliharaan.
- Pada metoda SRI organik, selain sangat mengurangi
kebutuhan pupuk kimia dan tanaman padi relatif lebih tahan terhadap hama
dan penyakit, kualitas produk beras menjadi lebih baik.
Walaupun
dengan sistem pengairan biasa, pelaksanaan budidaya padi sistem jajar legowo
agak mirip dengan metode SRI. Penanaman bibit 1 - 2 perlubang dan dengan jarak
tanam yang diatur perblok, metode jajar legowo mampu meningkatkan poduktivitas
pada varietas lokal sebesar hampir 40% (dari 6,5 ton/ha menjadi 8,5 ton/ha).
Introduksi budidaya organik pada sistem jajar legowo secara signifikan juga
meningkatkan produktifitas dan kualitas hasil.
Melihat
ketiga fenomena di atas, terdapat perbedaan yang cukup mencolok antara
pengembangan SRI dan Jajar Legowo dengan padi hibrida. Perkembangan SRI dan
Jajar Legowo berjalan dengan lambat, sedangkan perkembangan padi hibrida
walaupun masih menimbulkan masalah, berkembang cukup pesat. Secara teknis,
pengembangan SRI dan Jajar Legowo ditangani dalam program-program pemerintah
(seperti SRI - Disimp yang ditangani Nippon Koei melalui dana Loan JBIC
dan Jajar Legowo pada P4MI/PFI3P yang didanai Loan ADB), sedangkan padi hibrida
ditangani langsung oleh lembaga usaha (PT. Dupont, PT. SAS, Syngenta,
dll.). Oleh karena itu, walaupun relatif lebih baru, gaung pengembangan padi
hibrida lebih kencang karena berpotensi memberikan keuntungan yang sangat besar
bagi pengusaha benih hibrida. Keuntungan finansial juga dirasakan Balai Benih
Padi dengan perolehan royalty dan bantuan langsung dalam bentuk pendanaan
kerjasama pengembangan benih hibrida yang tidak didapatkan dari pengembagan SRI
atau jajar Legowo.
Akan tetapi,
apabila kita lihat dari keunggulan-keunggulan yang diperoleh secara general
dari ketiga sistem tersebut, tentunya kita sangat berharap bahwa sistem yang
lebih berpihak pada program ketahanan pangan sekaligus kesejahteraan petani lah
yang mestinya lebih diutamakan pengembangannya. Barangkali, seperti biasanya,
korupsi, kolusi, dan nepotisme sering mengaburkan bahkan menutupi makna
sesungguhnya dari suatu sistem pembangunan di negeri ini. Kita hanya bisa
berharap bahwa yang akan unggul adalah yang berpihak pada kepentingan
masyarakat dan bangsa ini, bukan yang berpihak pada pengusaha dan para
pengumpul harta.
Oleh : Catur
Agus Dewanto, SP
(Kabid
Penyelenggaraan Penyuluhan, Set. BAKORLUH PPK Prov. Lampung)