Selasa, 30 Juni 2015

PENGAIRAN DAN PEMBERANTASAN HAMA PENYAKIT PADA BUDIDAYA PADI SRI


PENGAIRAN

Bakorluh – Sudah kami ulas pada halaman sebelumnya bahwa pemberian air pada sistem budidaya padi SRI dilakukan secara internitten atau terputus-putus. Saat tanam, kondisi tanah adalah macak-macak (5 mm). Kemudian tinggi air ditambah sampai 2 cm atau maksimal. Setelah itu, pintu inlet ditutup dan lahan dibiarkan mengering. Setelah kondisi tanah mulai retak, pintu air dibuka kembali dan diatur sampai ketinggian 2 cm. Demikian seterusnya diulang sampai masa pemasakan bulir. Lamanya pengeringan tergantung pada musim dan kondisi setempat.
Sebagai pengalaman di Nusa Tenggara Timur dengan kondisi iklim yang ekstrim (3 bulan basah dan 6 bulan kering), lamanya waktu antara penghentian pemberian air irigasi sampai kondisi tanah retak adalah sekitar 1 minggu. Di daerah lain yang memiliki kondisi iklim lebih basah dan temperatur lebih rendah, proses pengeringan dapat mencapai 2 minggu.
Walaupun dengan kondisi ini akan tampak pertumbuhan tanaman terhambat, tetapi sebenarnya tanaman sedang melakukan perbanyakan anakan. Dengan kondisi retak, suplai oksigen pada daerah perakaran akan lebih besar dan menyebabkan proses asimilasi yang lebih besar dibanding pada sistem pengairan biasa. Hal ini memicu penyerapan unsur hara yang lebih baik dan pertumbuhan anakan yang jauh lebih besar (mencapai 200%).
Perlu diperhatikan pula proses pengeringan ini bersifat fleksibel. Saat pemupukan, kondisi air sebaiknya pada ketinggian maksimal (2 cm) akan tetapi pintu air sudah dalam keadaan ditutup. Dalam keadaan air tidak mengalir, pemupukan akan lebih efektif karena tidak terbawa air yang mengalir dan pupuk akan langsung meresap pada tanah.


PEMBERANTASAN HAMA DAN PENYAKIT

Pemberantasan hama dan penyakit dilakukan dengan mengikuti kaidah PHPT (Pengendalian Hama dan Penyakit secara Terpadu). Prinsip ini sangat mengutamakan cara mekanis dan biologis. Penggunaan pestisida hanya dilakukan saat serangan mencapai nilai ambang batas atau dalam kondisi endemik sebagai langkah preventif.
Cara-cara pengendalian mekanis untuk hama dilakukan dengan membuat perangkap hama (untuk walangsangit atau keong mas, atau yang lainnya), sedangkan untuk serangan penyakit bisa dilakukan dengan mencabut dan membakar tanaman yang terinfeksi. Beternak bebek/itik di lahan sawah yang sudah mulai besar juga dapat mengendalikan populasi wereng dan hama lainnya. Penggunaan pestisida nabati juga sangat dianjurkan sebagai langkah preventif, pengendalian, dan pelestarian lingkungan hidup.




Sebagai informasi sejak diperkenalkan tahun 1997 di Indonesia, metode SRI tidak berkembang seperti yang diharapkan oleh perintisnya Prof. Dr Norman Uphoff.  Walaupun banyak hasil yang memuaskan, metode SRI berkembang secara lambat. Dalam beberapa aplikasi di lapangan, metode SRI mampu mendongkrak produktivitas beberapa varietas yang biasa ditanam petani secara fantastis.
Rata-rata produksi 6 ton/ha, SRI mampu memberikan hasil sekitar 9 - 12 ton/ha, suatu hasil yang patut diperhitungkan dan selayaknya mendapat tempat istimewa dalam program ketahanan pangan. Hasil luar biasa ini pula lah yang merangsang PT. Sampurna berani membuka usaha agrobisnis komoditas padi yang selama ini dianggap enteng oleh kalangan pengusaha besar. Belum lagi Nippon Koei Co.Ltd yang secara konsisten melakukan sosialisasi aplikasi SRI pada setiap daerah pengembangan irigasi yang ditanganinya dan bahkan mendanai SRI Center di Mataram.
Selain keunggulan produksi, SRI juga memiliki banyak keunggulan yang diantaranya adalah :
  1. Penggunaan air irigasi yang lebih hemat, sehingga memungkinkan perluasan areal tanam padi lahan beririgasi saat musim kemarau.
  2. Pengunaan varietas unggul lokal yang telah biasa ditanam petani setempat.
  3. Penggunaan benih yang jauh lebih sedikit (10 - 15 kg/ha dibanding metoda konvensional sebesar 30 - 60 kg/ha).
  4. Mengurangi waktu produksi karena bibit ditanam pada umur 5 - 12 hari setelah semai (konvensional 21 hss).
  5. Secara umum, mengurangi ongkos produksi dan menambah tingkat keuntungan usahatani.
  6. Jarak tanam yang lebar (30 x 30 cm) mempermudah kegiatan pemeliharaan.
  7. Pada metoda SRI organik, selain sangat mengurangi kebutuhan pupuk kimia dan tanaman padi relatif lebih tahan terhadap hama dan penyakit, kualitas produk beras menjadi lebih baik.
Walaupun dengan sistem pengairan biasa, pelaksanaan budidaya padi sistem jajar legowo agak mirip dengan metode SRI. Penanaman bibit 1 - 2 perlubang dan dengan jarak tanam yang diatur perblok, metode jajar legowo mampu meningkatkan poduktivitas pada varietas lokal sebesar hampir 40% (dari 6,5 ton/ha menjadi 8,5 ton/ha). Introduksi budidaya organik pada sistem jajar legowo secara signifikan juga meningkatkan produktifitas dan kualitas hasil.
Melihat ketiga fenomena di atas, terdapat perbedaan yang cukup mencolok antara pengembangan SRI dan Jajar Legowo dengan padi hibrida. Perkembangan SRI dan Jajar Legowo berjalan dengan lambat, sedangkan perkembangan padi hibrida walaupun masih menimbulkan masalah, berkembang cukup pesat. Secara teknis, pengembangan SRI dan Jajar Legowo ditangani dalam program-program pemerintah (seperti  SRI - Disimp yang ditangani Nippon Koei melalui dana Loan JBIC dan Jajar Legowo pada P4MI/PFI3P yang didanai Loan ADB), sedangkan padi hibrida ditangani langsung oleh lembaga usaha (PT. Dupont, PT. SAS,  Syngenta, dll.). Oleh karena itu, walaupun relatif lebih baru, gaung pengembangan padi hibrida lebih kencang karena berpotensi memberikan keuntungan yang sangat besar bagi pengusaha benih hibrida. Keuntungan finansial juga dirasakan Balai Benih Padi dengan perolehan royalty dan bantuan langsung dalam bentuk pendanaan kerjasama pengembangan benih hibrida yang tidak didapatkan dari pengembagan SRI atau jajar Legowo.
Akan tetapi, apabila kita lihat dari keunggulan-keunggulan yang diperoleh secara general dari ketiga sistem tersebut, tentunya kita sangat berharap bahwa sistem yang lebih berpihak pada program ketahanan pangan sekaligus kesejahteraan petani lah yang mestinya lebih diutamakan pengembangannya. Barangkali, seperti biasanya, korupsi, kolusi, dan nepotisme sering mengaburkan bahkan menutupi makna sesungguhnya dari suatu sistem pembangunan di negeri ini. Kita hanya bisa berharap bahwa yang akan unggul adalah yang berpihak pada kepentingan masyarakat dan bangsa ini, bukan yang berpihak pada pengusaha dan para pengumpul harta.




  Oleh : Catur Agus Dewanto, SP
(Kabid Penyelenggaraan Penyuluhan, Set. BAKORLUH PPK Prov. Lampung)


















Tidak ada komentar:

Posting Komentar