Catur Agus Dewanto, SP. |
Bakorluh - Sistem budidaya
pertanian di Indonesia dalam kurun waktu yang panjang telah mengalami penurunan
produktivitas, kualitas, dan efisiensi.
Penurunan terjadi mulai dari luas lahan garapan yang kian susut akibat terdesak
kegiatan industrialisasi dan perumahan. Produktivitas semakin menukik tajam
karena lahan kehilangan kesuburan akibat penggunaan pupuk kimia yang tidak
bijaksana.
Pemakaian
pestisida dan pupuk kimia yang berlebihan dan tidak terkontrol mengakibatkan banyak
masalah. Diantaranya keseimbangan alam terganggu, musuh alami hama menjadi
punah, sehingga hama dan penyakit tanaman berkembang pesat, dan adanya residu
kimia pada hasil panen. Penghematan penggunaan pupuk dan pestisida kimia mutlak
harus dilakukan.
Selain itu,
krisis lingkungan karena pencemaran perlu disikapi mengingat dampak negatif
yang tidak sedikit bagi manusia dan lingkungan. Hal lain yang perlu
dipertimbangkan adalah harga pupuk dan anti hama yang mahal, terkadang langka
di pasaran serta faktor kolutif lain. Diantaranya mekanisme pasar yang
cenderung memperkaya segelintir orang dan faktor politis yang tidak memihak
petani.
Dari aspek
pengelolaan air, usaha tani sawah pada umumnya dilakukan dengan penggenangan
secara terus-menerus, di lain pihak kesediaan air semakin terbatas. Untuk itu,
diperlukan peningkatan efisiensi penggunaan air melalui usaha tani hemat air.
Pemerintah
Indonesia melalui Departemen Pertanian melakukan berbagai cara untuk memenuhi
kebutuhan beras dalam negeri. Salah satu teknologi yang sangat potensial untuk
meningkatkan produksi beras nasional adalah Budidaya Padi System of Rice
Intensification (S.R.I). Budidaya Padi S.R.I. telah diadopsi oleh banyak petani
di 28 negara (Uphoff, 2004).
Budidaya
padi yang berasal dari Madagascar ini diperkenalkan pertama kali di Indonesia
oleh Prof. Dr Norman Uphoff dari Cornell University, Amerika Serikat tahun
1997. Namun perkembangan Budidaya Padi S.R.I. di Indonesia terasa lambat.
Keuntungan
lain dari penerapan Budidaya Padi S.R.I adalah mengurangi emisi CH4 karena
sawah tidak digenangi. Hal ini merupakan keuntungan lain dari penerapan
Budidaya Padi S.R.I. secara luas. Pemerintah Indonesia sudah menyatakan
komitmennya untuk berpertisipasi aktif mengurangi emisi gas rumah kaca. Melalui
penerapan Budidaya Padi S.R.I. secara luas, emisi metan dari sawah juga akan
berkurang secara nyata sehingga secara nasional, Pemerintah Indonesia dapat
menunjukkan berpartisipasi aktif dalam menurunkan emisi CH4.
Pada tahun
pertama program difusi Budidaya Padi S.R.I, yang akan dilakukan: (1).
Memperkenalkan Budidaya Padi S.R.I. kepada petani melalui pembuatan petak
percontohan (demonstration plot) di 5 lokasi di Kabupaten Bogor, Sukabumi dan
Cianjur; (2) Melibatkan Ketua kelompok Tani dan petani maju secara langsung
dalam kegiatan demonstration plot; (3) Memberikan pelatihan langsung kepada
petani terpilih (15 petani/ketua kelompok tani); (4) Program
bimbingan/pendampingan kepada petani yang sudah mengikuti pelatihan dalam
pelaksanaan Budidaya Padi S.R.I. mulai dari penyiapan lahan, penyiapan benih
sampai kepada Pasca Panen dan pemasaran hasil; (5) Melakukan supervisi kepada
petani peserta secara berkala; (6) Mengadakan diskusi diantara petani pelaksana
Budidaya Padi S.R.I. dengan melibatkan masyarakat umum.
Metode SRI
menguntungkan untuk petani, karena produksi meningkat sampai 10 ton/ha, selain
itu karena tidak mempergunakan pupuk dan pestisida kimia, tanah menjadi gembur,
mikroorganisme tanah meningkat jadi ramah lingkungan. Untuk mempercepat
penyebaran metode SRI perlu dukungan dengan kebijakan pemerintah pusat maupun
daerah.
PRINSIP BUDIDAYA SRI
SRI atau System of Rice
Intensification tertumpu pada 4 hal pokok yaitu :
1.
Menanam bibit muda (5 – 15 hari setelah semai)
2.
Menanam 1 bibit pertitik tanam
3. Mengatur jarak tanam lebih lebar (30 x 30 cm sampai 50
x 50 cm ; di Indonesia jarak tanam ideal untuk SRI adalah 35 x 35 cm atau 35 x
35 cm)
4. Manajemen pengairan yang super hemat dengan cara
intermitten (terputus ; berselang seling antara pemberian air maksimal 2 cm dan
pengeringan tanah sampai retak).
Selain keempat hal tersebut, sangat
dianjurkan untuk menggunakan pupuk organik. Pupuk organik selain menyediakan
unsur hara yang lengkap (makro dan mikro) juga memperbaiki struktur tanah
sehingga meningkatkan ketersediaan hara bagi tanaman, udara yang cukup bagi
perakaran, dan meningkatkan daya ikat air tanah.
Di bawah ini adalah prinsip budidaya
yang telah diterapkan oleh Proyek Disimp selama lebih dari 5 tahun di berbagai
lokasi pengembangan daerah irigasi.
1. Pengolahan Tanah
Pengolahan tanah dilakukan sesuai anjuran pada sistem
konvensional. Sangat dianjurkan untuk memberikan pupuk kandang / kompos / pupuk
hijau saat pembajakan tanah. Di sekeliling petakan dibuat parit sedalam 30 –
50cm untuk membantu saat periode pengeringan.
2. Pembibitan
Pembibitan dalam SRI sangat dianjurkan dilakukan dalam
kontainer plastik, kayu, anyaman bambu yang dilapisi daun pisang, atau apa saja
yang dapat digunakan. Hal ini untuk mempermudah saat pindah tanam. Media tanah
untuk pembibitan sebaiknya mengandung kompos atau pupuk organik yang baik
dengan ketebalan 4-5 cm. Benih diberi perlakuan khusus agar didapatkan benih
yang paling baik. Lihat “Perlakuan Benih Padi”
3. Pindah Tanam
Sebelum pindah tanam sebaiknya lahan telah betul-betul
rata dan kemudian dibuat garis tanam dengan menggunakan caplak agar pertanaman
teratur dengan jarak tanam seragam. Jarak tanam yang dianjurkan adalah 30 x 30
cm, 35 x 35 cm, atau pada tanah yang subur dapat diperjarang sampai 50 x 50 cm.
Bibit dapat dipindahtanamkan pada umur 5 – 15 hari
setelah semai (berdaun 2) dengan jumlah 1 bibit perlubang. Pembenaman bibit
sekitar 1 – 1,5 cm dengan posisi akar membentuk huruf L. Caranya adalah dengan
membenamkan bibit pada jarak sekitar 10 cm di belakang titik tanam, kemudian
digeser menuju titik tanam, sehingga posisi akar seperti huruf L.
4. Pemupukan.
Pemupukan dilakukan sesuai anjuran setempat, baik
dosis maupun teknis pemberian. Hal ini disebabkan karakteristik kesuburan tanah
yang berbeda-beda di setiap lokasi. Apabila menggunakan pupuk kandang, dosis
pupuk kimia dapat dikurangi (mengenai hal ini sebaiknya berkonsultasi dengan
pihak Cabang Dinas Pertanian setempat).
5. Penyiangan /
Pengendalian Gulma.
Pengendalian gulma sebaiknya dilakukan sebanyak
sekurangnya 3 kali selama masa tanam sesuai dengan kondisi di lapangan.
Pengendalian gulma yang baik sebaiknya menggunakan alat weeder (lalandak) yang
lebarnya disesuaikan dengan jarak tanam. Gulma yang tercabut dapat dibenamkan
atau disisihkan (dalam hal ini bila dominasi jenis gulma yang berumbi seperti
teki).
6. Pengairan
Pengairan atau pemberian air dilakukan secara
intermitten atau terputus-putus. Pada awal penanaman, pemberian air dilakukan
sampai kondisi minimal macak-macak atau maksimal sekitar 2 cm. Kemudian
dibiarkan mengering sampai kondisi tanah mulai terbelah-belah dan mulai lagi
dengan pemberian air maksimal, begitu seterusnya. Kondisi tanah yang kering
terbelah memberikan kesempatan oksigen lebih banyak masuk dalam pori-pori tanah
sehingga akan memperbaiki proses respirasi (pernapasan) perakaran. Kondisi ini
tentu akan meningkatkan pertumbuhan perakaran dan perkembangan anakan.
Seperti juga pada sistem konvensional, pemberian air dihentikan saat
periode pemasakan bulir padi.
7. Pengendalian Hama dan
Penyakit.
Dalam metode SRI, pengendalian hama dilakukan dengan
sistim PHT. Dengan system ini, petani diajak untuk bisa mengelola unsur-unsur
dalam agroekosistem (seperti matahari, tanaman, mikroorganisme, air, oksigen,
dan musuh alami) sebagai alat pengendali hama dan penyakit tanaman. Cara yang
dilakukan petani misalnya dengan menempatkan bilah-bilah dipetakan sawah
sebagai “terminal” capung atau burung kapinis. Selain itu petani juga
menggunakan pestisida berupa ramuan yang diolah dari bahan-bahan alami untuk
menghalau hama.
Untuk pengendalian gulma, metode SRI mengandalkan
tenaga manusia dan sama sekali tidak memakai herbisida. Biasanya digunakan alat
bantu yang disebut “susruk”. .Ini adalah semacam garu yang berfungsi sebagai
alat pencabut gulma. Dengan alat ini, gulma yang sudah tercabut sekaligus akan
dibenamkan ke dalam tanah untuk menambah bahan didalam tanah. Perlu diingat,
bahwa dalam aplikasi metode SRI, gulma yang tumbuh akan menjadi banyak karena
sawah tidak selalu ada dalam kondisi tergenang air.
8. Panen
Panen dilakukan setelah tanaman menua dengan ditandai
dengan menguningnya semua bulir secara merata. Bila bulir digigit tidak sampai
mengeluarkan air. Dari pengalaman di lapangan, dengan pemasakan bulir pada SRI
lebih cepat terjadi sehingga umur panen lebih cepat dan bulir padi lebih banyak
dan lebih padat.
Demonstrasi area yang dilakukan selama ini membuktikan
bahwa SRI mampu memberikan kelebihan hasil panen seperti :
- Tinggi tanaman lebih tinggi mulai umur tanaman 60 hari
- Jumlah anakan 2 kali lebih banyak sejak umur 40 hari
- Jumlah anakan produktif meningkat 2 kali
- Jumlah bulir permalai lebih banyak
- Jumlah bulir bernas lebih banyak
- Berat bulir per 100 butir gabah lebih tinggi
- Kadar air saat panen lebih rendah
Dengan sejumlah peningkatan tersebut di atas, sudah
pasti SRI memberikan nilai produktivitas yang jauh lebih tinggi dibanding
dengan metode konvensional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar